Pemangku Adat Negeri Piru Didesak Tegas terhadap Kepemilikan Hak-Hak Masyarakat Adatnya

MALUKU|MERAHPUTIH-Permasalahan terhadap kepemilikan tanah adat pada Dusun Teha di dalam Kota Piru Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), nampaknya belum ada kepastian penyelesaiannya.

Dalam surat Nomor 31/VIII/2024 tanggal 23 Agustus 2024, oleh Kuasa Hukum Albert H. Pirsouw dkk, sebagai ahli waris Alexander Pirsouw pemilik Dusun Teha, ditujukan kepada Kepala Kepolisian Resort SBB, Kepala Pemerintah Negeri dan Saniri Negeri Piru dengan bukti-bukti surat sebagai lampirannya, dijelaskan bahwa Dusun Teha terletak di Negeri Piru, Kecamatan Seram Barat, Kebupaten SBB sudah ada bukti kepemilikannya yang sangat kuat.

 Permasalahan terhadap Dusun Teha, pernah diperkarakan oleh Alexander (Alekjander) Pirsouw pada zaman Pemerintah Hindia Belanda; menghasilkan putusan Hila tanggal 12 Pebruari 1874, dalam perkara a/n. Alexander Pirsouw selaku Pendawa, dan putusan Pejabat Afdeling Kairatu di Piru tanggal 6 Nopember 1890.

Selain itu, pada Dusun Teha bagian Utara, pernah dilepaskan oleh kakak kandung Albert H. Pirsouw an. Mesak Pirsouw untuk kepentingan pembangunan Kantor Bupati SBB, dan pada bagian Selatan Dusun Teha di Pantai Redi, sebagiannya telah dilepaskan oleh Albert H. Pirsouw untuk pembangunan Sarana Parawisata oleh Dinas Parawisata, dan surat-surat pengakuan batas dusun.

Semuel Waileruny sebagai salah satu Kuasa Hukum Albert H. Pirsouw dkk, menjelaskan bahwa belakangan, terdapat kantor-kantor seperti, Kantor Dinas Kesehatan, Kantor Dinas Kearsipan, Kantor Perusahan Listrik Negara (PLN), Kantor Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Piru, Kantor Dinas Lingkungan Hidup, Kantor KPU, Kantor Dinas Perhubungan, Rumah Dinas Pemda SBB, Kantor Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (Samsat), Kantor Kejaksaan, Kantor Departemen Agama, Kantor Statistik, Kantor dan Asrama Brimob, dll, jalan umum dan usaha swasta dan perorangan tanpa memperoleh alas hak dari Albert H. Pirsow dkk, selaku ahli waris Alexander Pirsouw pemilik dusun Teha.

Herannnya juga, di atas tanah pada Dusun Teha ada seorang perempua warga SBB asal Pulau Buton atas nama Wampine menjual kurang lebih 10 (sepuluh) HA kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) SBB yang saat ini MUI SBB sementara membangun kantor permanen.

Padahal Wampine, mengetahui persis bahwa tanah yang dijualnya itu, adalah wilayah tipar mayang bapak kandungnya La Numa dengan sistem maano (kerja bagi hasil) dengan Gerson Pirsouw yang adalah ayah kandung Albert H. Pirsouw.

Dari sistem maano, setiap bulan La Numa mesti menyerahkan sebanyak 30 (tiga puluh) botol sopi kepada Gerson Pirsouw (almarhum) untuk kepentingan ekonomi keluarga, dimana Wampine dan saudara-saudara kandungnya yang selalu disuruh ayahnya La Numa, untuk mengantar sopi tersebut kepada Gerson, dan Wampine sangat mengetahui anak kandung Gerson Pirsouw antara lain Albert H. Pirsouw.

Wampine dan saudara-saudara juga sangat mengetahui bahwa selama La Numa melakukan kegiatan tipar mayang di Dusun Teha selama puluhan tahun, tidak pernah ada teguran atau larangan dari siapapun, oleh karena semua warga masyarakat adat di Negeri Piru saat itu, mengetahui bahwa Dusun Teha adalah milik Alexander Pirsouw turun kepada anaknya Gerson Pirsouw, dan anak dari Gerson Pirsouw adalah Albert H. Pirsouw dkk.

Sangatlah disayangkan untuk Wampine  boleh mejual tanah kurang lebih seluas 10 HA kepada MUI SBB, dan dibangunnya berbagai fasilitas perkantoran pemerintah, sedangkan pemangku adat Negeri Piru dalam hal ini Pemerintah Negeri Piru dan Saniri Negeri Piru sangat mengetahui hal itu bersikap diam.

 Seharusnya pemangku adat negeri yang satu fungsinya menjaga hukum adat masyarakat adat Negeri Piru, tidak boleh membiarkan semua keadaan berkalu terhadap hak-hak masyarakatnya, walaupun mungkin ada masyarakat adat pemilik hak-hak memiliki keterbatasan dalam ekonomi maupun kualitas SDM, namun mesti mesti tetap memperoleh perlindungan, bahkan kepada mereka mesti diberikan perlindungan khusus.

Tidaklah mungkin bila terdapat banyak aktivitas masyarakat, kegiatan pembangunan gedung-gedung pemerintahan dan aktivitas swasta yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat adat termasuk tanah pada Dusun Teha, pemangku adat tidak mengetahuinya; setidak-tidaknya untuk pengurusan adminstrasi yang dimulai dari urusan dengan Pemerintah Negeri dan Saniri Negeri, berkaitan dengan pengakuan hak atau pelepasan hak.

Sesuai informasi yang disampaikan oleh pihak yang dianggap sangat mengetahui dan terlibat dalam proses hukum di Pengadilan Negeri Masohi dalam perkara perdata Nomor 23/Pdt.G/2018/Pn. Masohi, bahwa pada saat pihak yang mengajukan bukti surat, salah satunya adalah foto copy Putusan Hila tanggal 12 Pebruari 1874, dalam perkara a/n. Alexander Pirsouw selaku Pendawa. Ketua Majelis Hakim perkara Nomor 23/Pdt.G/2018/Pn. Masohi yang memimpin persidangan bertanya ‘mana asli suratnya’, dijawab oleh yang mengajukan bahwa ‘aslinya telah hilang’.

Bila jawaban itu disampaikan oleh Kuasa Hukum, maka jawaban itu berdasarkan keterangan kliennya, yang menciptakan cerita yang palsu sedemikian dapat dipidana penjara selama 4 (empat) tahun sesuai ketentuan pasal 378 KUHPidana (pasal 492 UU Nomor 1 Tahun 2023), oleh karena asli surat tersebut sudah diamankan oleh Albert H. Pirsouw pada tempatnya yang tepat, yang akan dibuka pada waktu tepat pula.

Untuk itu, dimohon pula kiranya Kapolres SBB, dapat mendalami hal ini, agar kejahatan terhadap hak-hak masyarakat adat tersebut dapat dihindari. (*)

harianmerahputih.id tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Back to Top